The Journey Of The Soul

Wednesday, November 22, 2006

Women In Islam

There is little point in discussing how well or badly so called
'Islamic countries' are living up to the teachings of Islam, or why. First it is
necessary to clear up misunderstandings of what those teachings are.

Women are equal to men in the sight of God but they have in some respects
different roles in life to men because of their different natures.

They differ psychologically, physiologically, and biologically from men. This
makes them more suitable than men for certain responsibilities and less suitable
than men for others.


Islam recognizes these differences.

Oppression of women is the result of removing their rights. Islam gives men &
women rights that are different in some aspects to those they have in the
western world. The principle difference in the way these rights came about is
also important.


In the West rights became part of the law only after women had
been through great political struggles and also partly due to the necessity of
women working in factories during wars. It is possible that this will be
reversed in the future.


In Islam, rights were given 'out of the blue' by God through
revelation. They cannot be reversed by anyone's decision. Most Muslims recognize
the purity and validity of the Qur'anic laws even if they are not following
them, but it may be necessary to struggle for a return to them from time to
time. It is quite commonly agreed that all things in life which are worthwhile
require some struggle.



There is considerable overlap of rights that now exist in the Western world and
those which Muslim women have always had (at least in principle if not in
practice). This link may give some examples:




In a truly Islamic society women have the following rights in Islam:


The right and duty to obtain education.

The right to have their own independent property.

The right to work to earn money if they need it or want it.

Equality of reward for equal deeds.

The right to participate fully in public life and have their voices heard
by those in power.

The right to provisions from the husband for all her needs and more.

The right to negotiate marriage terms of her choice.

The right to obtain divorce from her husband, even on the grounds that she
simply can't stand him.

The right to keep all her own money (she is not responsible to for
spending on the upkeep of the house or any persons).

The right to get sexual satisfaction from her husband.

http://www.islamonline.com/cgi-bin/news_service/spot_full_story.asp?service_id=576

Labels: , ,


Read more!

4 tipe Manusia


Dibuku Aa Gym yang berjudul " Saya Tidak Ingin Kaya, Tapi Harus Kaya",terdapat 4 tipe manusia yang berkaitan dengan harta dan gaya hidup. Nah, termasuk tipe yang manakah tipe kepribadian anda.


1.Orang berharta dan memperlihatkan hartanya.
Orang seperti ini biasanya bergaya hidup mewah. Untung perilakunya ini masih
sesuai dengan penghasilannya sehingga secara finansial sebenarnya tidak terlalu
bermasalah. Hanya saja, ia akan menjadi hina kalau bersikap sombong dan
merendahkan orang lain yang dianggap tak selevel dengan dia.

2.Orang yang tidak berharta banyak, tetapi ingin kelihatan berharta.
Gaya hidup mewah sebenarnya diluar kemampuan dia, namun ia ingin selalu tampil
lebih daripada kenyataan. Tidaklah aneh bila keadaan finansialnya “lebih besar
pasak daripada tiang”. Tampaknya, orang seperti ini benar-benar tahu seni menyiksa
diri. Hidupnya amat menderita, dan sudah barang tentu ia menjadi hina dan bahkan
menjadi bahan tertawaan orang lain yang mengetahui keadaan yang sebenarnya.

3.Orang tak berharta tetapi berhasil hidup bersahaja.
Orang seperti ini tidak terlalu rumit dalam menjalani hidup karena tidak tersiksa
oleh keinginan, tidak ruwet oleh pujian dan penilaian orang lain, kebutuhan
hidupnya pun sederhana saja. Dia akan hina kalau menjadi beban dengan peminta-
minta yang tidak tahu diri. Namun, tetapi juga berpeluang menjadi mulia jikalau
sangat menjaga kehormatan dirinya dengan tidak berharap dikasihani, tidak
menunjukkan kemiskinannya, tegar, dan memiliki harga diri.

4.Orang yang berharta tetapi hidup bersahaja.
Inilah orang yang mulia dan memiliki keutamaan. Dia mampu membeli apa pun yang
dia inginkan, namun berhasil menahan dirinya untuk hidup seperlunya. Dampaknya,
hidupnya tidak berbiaya tinggi, tidak menjadi bahan iri dengki dengan orang lain,
dan tertutup peluang menjadi sombong serta takabur plus riya. Dan yang lebih
menawan akan menjadi contoh kebaikan bagi orang lain. Memang aneh tapi nyata jika
orang yang berkecukupan harta tetapi mampu hidup bersahaja (tentu tanpa kikir).
Sungguh ia akan mempunyai pesona kemuliaan tersendiri. Pribadinya yang lebih kaya
dan lebih berharga dibandingkan seluruh harta yang dimilikinya.



Labels:


Read more!

Tuesday, November 21, 2006

Saya Ingin seperti Ayah

Suatu hari suami saya rapat dengan beberapa rekan
bisnisnya yang kebetulan
mereka sudah mendekati usia 60 tahun dan dikaruniai
beberapa orang cucu. Di
sela-sela pembicaraan serius tentang bisnis, para
kakek yang masih aktif
itu sempat juga berbagi pengalaman tentang kehidupan
keluarga di masa senja
usia.



Suami saya yang kebetulan paling muda dan masih
mempunyai anak balita,
mendapatkan pelajaran yang sangat berharga, dan
untuk itu saya merasa
berterima kasih kepada rekan-rekan bisnisnya
tersebut. Mengapa? Inilah kira-
kira kisah
mereka.

Salah satu dari mereka kebetulan akan ke Bali untuk
urusan bisnis, dan
minta tolong diatur tiket kepulangannya melalui
Surabaya karena akan
singgah ke rumah anaknya yang bekerja di sana.

Di situlah awal pembicaraan "menyimpang" dimulai. Ia
mengeluh, "Susah anak
saya ini, masak sih untuk bertemu bapaknya saja
sulitnya bukan
main." "Kalau
saya telepon dulu, pasti nanti dia akan berkata
jangan datang sekarang
karena masih banyak urusan. Lebih baik datang saja
tiba-tiba, yang penting
saya bisa
lihat cucu."

Kemudian itu ditimpali oleh rekan yang lain. "Kalau
Anda jarang bertemu
dengan anak karena beda kota, itu masih dapat
dimengerti," katanya. "Anak
saya
yang tinggal satu kota saja, harus pakai perjanjian
segala kalau ingin
bertemu."

"Saya dan istri kadang-kadang merasa begitu
kesepian, karena kedua anak
saya jarang berkunjung, paling-paling hanya
telepon."

Ada lagi yang berbagi kesedihannya, ketika ia dan
istrinya mengengok anak
laki-lakinya, yang istrinya baru melahirkan di salah
satu kota di Amerika.
Ketika sampai dan baru saja memasuki rumah anaknya,
sang anak sudah
bertanya,
"Kapan Ayah dan Ibu kembali ke Indonesia?"
"Bayangkan! Kami menempuh
perjalanan
hampir dua hari, belum sempat istirahat sudah
ditanya kapan pulang."


Apa yang digambarkan suami saya tentang mereka,
adalah rasa kegetiran dan
kesepian yang tengah melanda mereka di hari tua.
Padahal mereka adalah
para profesional yang begitu berhasil dalam
kariernya.

Suami saya bertanya, "Apakah suatu saat kita juga
akan mengalami hidup
seperti mereka?" Untuk menjawab itu, saya sodorkan
kepada suami saya sebuah
syair lagu berjudul Cat's In the Cradle karya Harry
Chapin. Beberapa
cuplikan syair tersebut saya terjemahkan secara
bebas ke dalam bahasa
Indonesia agar relevan untuk konteks Indonesia.


Serasa kemarin ketika anakku lahir dengan penuh
berkah. Aku harus siap
untuknya, sehingga sibuk aku mencari nafkah sampai
'tak ingat kapan pertama
kali ia belajar melangkah. Pun kapan ia belajar
bicara dan mulai lucu
bertingkah

Namun aku tahu betul ia pernah berkata,
"Aku akan menjadi seperti Ayah kelak"
"Ya betul aku ingin seperti Ayah kelak"

"Ayah, jam berapa nanti pulang?"
"Aku tak tahu 'Nak, tetapi kita akan punya waktu
bersama nanti, dan tentu saja kita akan mempunyai
waktu indah bersama"

Ketika saat anakku ulang tahun yang kesepuluh;
Ia berkata, "Terima kasih atas hadiah bolanya Ayah,
wah ... kita bisa main bola bersama.
Ajari aku bagaimana cara melempar bola"

"Tentu saja 'Nak, tetapi jangan sekarang, Ayah
banyak pekerjaan sekarang"
Ia hanya berkata, "Oh ...."
Ia melangkah pergi, tetapi senyumnya tidak hilang,
seraya berkata, "Aku akan seperti ayahku".
"Ya, betul aku akan sepertinya"

"Ayah, jam berapa nanti pulang?"
"Aku tak tahu 'Nak, tetapi kita akan punya waktu
bersama nanti, dan tentu saja kita akan mempunyai
waktu indah bersama"

Suatu saat anakku pulang ke rumah dari kuliah;
Begitu gagahnya ia, dan aku memanggilnya,
"Nak, aku bangga sekali denganmu, duduklah sebentar
dengan Ayah"

Dia menengok sebentar sambil tersenyum,
"Ayah, yang aku perlu sekarang adalah meminjam
mobil, mana kuncinya?"
"Sampai bertemu nanti Ayah, aku ada janji dengan
kawan"

"Nak, jam berapa nanti pulang?" "Aku tak tahu 'Yah,
tetapi kita akan punya
waktu bersama
nanti dan tentu saja kita akan mempunyai waktu indah
bersama"

Aku sudah lama pensiun, dan anakku sudah lama pergi
dari rumah;
Suatu saat aku meneleponnya.
"Aku ingin bertemu denganmu, Nak"
Ia bilang, "Tentu saja aku senang bertemu Ayah,
tetapi sekarang aku tidak ada waktu.

Ayah tahu, pekerjaanku begitu menyita waktu,
dan anak-anak sekarang sedang flu.
Tetapi senang bisa berbicara dengan Ayah,
betul aku senang mendengar suara Ayah"

Ketika ia menutup teleponnya, aku sekarang
menyadari; Dia tumbuh besar
persis seperti aku;

betul, ternyata anakku persis seperti aku.

Technorati Profile

Labels: ,


Read more!

Perempuan

Dia yang diambil dari tulang rusuk. Jika Tuhan
mempersatukan dua orang yang
berlawanan sifatnya, maka itu akan menjadi saling
melengkapi.

Dialah penolongmu yang sepadan, bukan sparing
partner yang sepadan.

Ketika pertandingan dimulai, dia tidak berhadapan
denganmu untuk melawanmu,


tetapi dia akan berada bersamamu untuk berjaga-jaga
di belakang saat engkau
berada di depan atau segera mengembalikan bola
ketika bola itu terlewat
olehmu, dialah yang akan menutupi kekuranganmu.

Dia ada untuk melengkapi yang tak ada dalam
laki-laki : perasaan,emosi,
kelemah lembutan, keluwesan, keindahan, kecantikan,
rahim untuk melahirkan,
mengurusi hal-hal sepele... sehingga ketika
laki-laki tidak mengerti hal-hal
itu, dialah yang akan menyelesaikan bagiannya...
sehingga tanpa kau sadari
ketika kau menjalankan sisa hidupmu... kau menjadi
lebih kuat karena
kehadirannya di sisimu.

Jika ada makhluk yang sangat bertolak belakang,
kontras dengan lelaki,
itulah perempuan. Jika ada makhluk yang sanggup
menaklukkan hati hanya
dengan sebuah senyuman, itulah perempuan.

Ia tidak butuh argumentasi hebat dari seorang
laki-laki... tetapi ia butuh
jaminan rasa aman darinya karena ia ada untuk
dilindungi.... tidak hanya
secara fisik tetapi juga emosi.

Ia tidak tertarik kepada fakta-fakta yang akurat,
bahasa yang teliti dan
logis yang bisa disampaikan secara detail dari
seorang laki-laki,tetapi yang
ia butuhkan adalah perhatiannya... kata-kata yang
lembut...ungkapan-ungkapan
sayang yang sepele... namun baginya sangat
berarti...membuatnya aman di
dekatmu....

Batu yang keras dapat terkikis habis oleh air yang
luwes, sifat laki-laki
yang keras ternetralisir oleh kelembutan perempuan.
Rumput yang lembut tidak
mudah tumbang oleh badai dibandingkan dengan pohon
yang besar dan rindang...
seperti juga di dalam kelembutannya di situlah
terletak kekuatan dan
ketahanan yang membuatnya bisa bertahan dalam
situasi apapun.

Ia lembut bukan untuk diinjak, rumput yang lembut
akan dinaungi oleh pohon
yang kokoh dan rindang. Jika lelaki berpikir tentang
perasaan wanita, itu
sepersekian dari hidupnya.... tetapi jika perempuan
berpikir tentang
perasaan lelaki, itu akan menyita seluruh
hidupnya...

Karena perempuan diciptakan dari tulang rusuk laki-
laki, karena perempuan
adalah bagian dari laki-laki... apa yang menjadi
bagian dari hidupnya, akan
menjadi
bagian dari hidupmu.

Keluarganya akan menjadi keluarga barumu, keluargamu
pun akan menjadi
keluarganya juga. Sekalipun ia jauh dari
keluarganya, namun ikatan emosi
kepada keluarganya tetap ada karena ia lahir dan di
besarkan di sana....
karena mereka, ia menjadi seperti sekarang ini.
Perasaannya terhadap keluarganya, akan menjadi
bagian dari perasaanmu
juga... karena kau dan dia adalah satu.... dia
adalah dirimu yang tak ada
sebelumnya.
Technorati Profile

Labels: ,


Read more!

Lelaki Yang Gelisah

Dari pinggir kaca nako, di antara celah kain gorden, saya melihat lelaki itu mondar-mandir di depan rumah. Matanya berkali-kali melihat ke rumah saya.Tangannya yang dimasukkan ke saku celana, sesekali mengelap keringat di keningnya.

Dada saya berdebar menyaksikannya. Apa maksud remaja yang bisa jadi umurnya tak jauh dengan anak sulung saya yang baru kelas 2 SMU itu? Melihat tingkah lakunya yang gelisah, tidakkah dia punya maksud buruk dengan keluarga saya? Mau merampok? Bukankah sekarang ini orang merampok tidak lagi mengenal waktu? Siang hari saat orang-orang lalu-lalang pun penodong bisa beraksi, seperti yang banyak diberitakan koran. Atau dia punya masalah dengan Yudi, anak saya?

Kenakalan remaja saat ini tidak lagi enteng. Tawuran telah menjadikan puluhan remaja meninggal. Saya berdoa semoga lamunan itu salah semua. Tapi mengingat peristiwa buruk itu bisa saja terjadi, saya mengunci seluruh pintu dan jendela rumah. Di rumah ini, pukul sepuluh pagi seperti ini, saya hanya seorang diri. Kang Yayan, suami saya, ke kantor. Yudi sekolah, Yuni yang sekolah sore pergi les Inggris, dan Bi Nia sudah seminggu tidak masuk.

Jadi kalau lelaki yang selalu memperhatikan rumah saya itu menodong, saya bisa apa? Pintu pagar rumah memang terbuka. Siapa saja bisa masuk.

Tapi mengapa anak muda itu tidak juga masuk? Tidakkah dia menunggu sampai tidak ada orang yang memergoki? Saya sedikit lega saat anak muda itu berdiri di samping tiang telepon. Saya punya pikiran lain. Mungkin dia sedang menunggu seseorang, pacarnya, temannya, adiknya, atau siapa saja yang janjian untuk bertemu di tiang telepon itu. Saya memang tidak mesti berburuk sangka seperti tadi. Tapi dizaman ini, dengan peristiwa-peristiwa buruk, tenggang rasa yang semakin menghilang, tidakkah rasa curiga lebih baik daripada lengah?

Saya masih tidak beranjak dari persembunyian, di antara kain gorden, di samping kaca nako. Saya masih was-was karena anak muda itu sesekali masih melihat ke rumah. Apa maksudnya? Ah, bukankah banyak pertanyaan di dunia ini yang tidak ada jawabannya.

Terlintas di pikiran saya untuk menelepon tetangga. Tapi saya takut jadi ramai. Bisa-bisa penduduk se-kompleks mendatangi anak muda itu. Iya kalau anak itu ditanya-tanya secara baik, coba kalau belum apa-apa ada yang memukul.

Tiba-tiba anak muda itu membalikkan badan dan masuk ke halaman rumah. Debaran jantung saya mengencang kembali. Saya memang mengidap penyakit jantung. Tekad saya untuk menelepon tetangga sudah bulat, tapi kaki saya tidak bisa melangkah. Apalagi begitu anak muda itu mendekat, saya ingat, saya pernah melihatnya dan punya pengalaman buruk dengannya. Tapi anak muda itu tidak lama di teras rumah. Dia hanya memasukkan sesuatu ke celah di atas pintu dan bergegas pergi. Saya masih belum bisa mengambil benda itu karena kaki saya masih lemas.

* * *

Saya pernah melihat anak muda yang gelisah itu di jembatan penyeberangan, entah seminggu atau dua minggu yang lalu. Saya pulang membeli bumbu kue waktu itu. Tiba-tiba di atas jembatan penyeberangan, saya ada yang menabrak, saya hampir jatuh. Si penabrak yang tidak lain adalah anak muda yang gelisah dan mondar-mandir di depan rumah itu, meminta maaf dan bergegas mendahului saya. Saya jengkel, apalagi begitu sampai di rumah saya tahu dompet yang disimpan di kantong plastik, disatukan dengan bumbu kue, telah raib.

Dan hari ini, lelaki yang gelisah dan si penabrak yang mencopet itu, mengembalikan dompet saya lewat celah di atas pintu. Setelah saya periksa, uang tiga ratus ribu lebih, cincin emas yang selalu saya simpan di dompet bila bepergian, dan surat-surat penting, tidak ada yang berkurang.

Lama saya melihat dompet itu dan melamun. Seperti dalam dongeng. Seorang anak muda yang gelisah, yang siapa pun saya pikir akan mencurigainya, dalam situasi perekonomian yang morat-marit seperti ini, mengembalikan uang yang telah digenggamnya. Bukankah itu ajaib, seperti dalam dongeng. Atau hidup ini memang tak lebih dari sebuah dongengan?

Bersama dompet yang dimasukkan ke kantong plastik hitam itu saya menemukan surat yang dilipat tidak rapi. Saya baca surat yang berhari-hari kemudian tidak lepas dari pikiran dan hati saya itu. Isinya seperti ini: "Ibu yang baik, maafkan saya telah mengambil dompet Ibu. Tadinya saya mau mengembalikan dompet Ibu saja, tapi saya tidak punya tempat untuk mengadu, maka saya tulis surat ini, semoga Ibu mau membacanya. Sudah tiga bulan saya berhenti sekolah. Bapak saya di-PHK dan tidak mampu membayar uang SPP yang berbulan-bulan sudah nunggak, membeli alat-alat sekolah dan memberi ongkos. Karena kemampuan keluarga yang minim itu saya berpikir tidak apa-apa saya sekolah sampai kelas 2 STM saja. Tapi yang membuat saya sakit hati, Bapak kemudian sering mabuk dan judi buntut yang beredar sembunyi-sembunyi itu.

Adik saya yang tiga orang, semuanya keluar sekolah. Emak berjualan goreng-gorengan yang dititipkan di warung-warung. Adik-adik saya membantu mengantarkannya. Saya berjualan koran, membantu-bantu untuk beli beras.

Saya sadar, kalau keadaan seperti ini, saya harus berjuang lebih keras. Saya mau melakukannya. Dari pagi sampai malam saya bekerja. Tidak saja jualan koran, saya juga membantu nyuci piring di warung nasi dan kadang (sambil hiburan) saya ngamen. Tapi uang yang pas-pasan itu (Emak sering gagal belajar menabung dan saya maklum), masih juga diminta Bapak untuk memasang judi kupon gelap. Bilangnya nanti juga diganti kalau angka tebakannya tepat. Selama ini belum pernah tebakan Bapak tepat. Lagi pula Emak yang taat beribadah itu tidak akan mau menerima uang dari hasil judi, saya yakin itu.

Ketika Bapak semakin sering meminta uang kepada Emak, kadang sambil marah-marah dan memukul, saya tidak kuat untuk diam. Saya mengusir Bapak. Dan begitu Bapak memukul, saya membalasnya sampai Bapak terjatuh-jatuh. Emak memarahi saya sebagai anak laknat. Saya sakit hati. Saya bingung. Mesti bagaimana saya?

Saat Emak sakit dan Bapak semakin menjadi dengan judi buntutnya, sakit hati saya semakin menggumpal, tapi saya tidak tahu sakit hati oleh siapa. Hanya untuk membawa Emak ke dokter saja saya tidak sanggup. Bapak yang semakin sering tidur entah di mana, tidak perduli. Hampir saya memukulnya lagi.

Di jalan, saat saya jualan koran, saya sering merasa punya dendam yang besar tapi tidak tahu dendam oleh siapa dan karena apa. Emak tidak bisa ke dokter. Tapi orang lain bisa dengan mobil mewah melenggang begitu saja di depan saya, sesekali bertelepon dengan handphone. Dan di seberang stopan itu, di warung jajan bertingkat, orang-orang mengeluarkan ratusan ribu untuk sekali makan.

Maka tekad saya, Emak harus ke dokter. Karena dari jualan koran tidak cukup, saya merencanakan untuk mencopet. Berhari-hari saya mengikuti bus kota, tapi saya tidak pernah berani menggerayangi saku orang. Keringat dingin malah membasahi baju. Saya gagal jadi pencopet.

Dan begitu saya melihat orang-orang belanja di toko, saya melihat Ibu memasukkan dompet ke kantong plastik. Maka saya ikuti Ibu. Di atas jembatan penyeberangan, saya pura-pura menabrak Ibu dan cepat mengambil dompet. Saya gembira ketika mendapatkan uang 300 ribu lebih.

Saya segera mendatangi Emak dan mengajaknya ke dokter. Tapi Ibu, Emak malah menatap saya tajam. Dia menanyakan, dari mana saya dapat uang. Saya sebenarnya ingin mengatakan bahwa itu tabungan saya, atau meminjam dari teman. Tapi saya tidak bisa berbohong. Saya mengatakan sejujurnya, Emak mengalihkan pandangannya begitu saya selesai bercerita.

Di pipi keriputnya mengalir butir-butir air. Emak menangis. Ibu, tidak pernah saya merasakan kebingungan seperti ini. Saya ingin berteriak. Sekeras-kerasnya. Sepuas-puasnya. Dengan uang 300 ribu lebih sebenarnya saya bisa makan-makan, mabuk, hura-hura. Tidak apa saya jadi pencuri. Tidak perduli dengan Ibu, dengan orang-orang yang kehilangan. Karena orang-orang pun tidak perduli kepada saya. Tapi saya tidak bisa melakukannya. Saya harus mengembalikan dompet Ibu. Maaf."
Surat tanpa tanda tangan itu berulang kali saya baca. Berhari-hari saya mencari-cari anak muda yang bingung dan gelisah itu. Di setiap stopan tempat puluhan anak-anak berdagang dan mengamen. Dalam bus-bus kota. Di taman-taman. Tapi anak muda itu tidak pernah kelihatan lagi. Siapapun yang berada di stopan, tidak mengenal anak muda itu ketika saya menanyakannya.

Lelah mencari, di bawah pohon rindang, saya membaca dan membaca lagi surat dari pencopet itu. Surat sederhana itu membuat saya tidak tenang. Ada sesuatu yang mempengaruhi pikiran dan perasaan saya. Saya tidak lagi silau dengan segala kemewahan. Ketika Kang Yayan membawa hadiah-hadiah istimewa sepulang kunjungannya ke luar kota, saya tidak segembira biasanya.Saya malah mengusulkan oleh-oleh yang biasa saja.

Kang Yayan dan kedua anak saya mungkin aneh dengan sikap saya akhir-akhir ini. Tapi mau bagaimana, hati saya tidak bisa lagi menikmati kemewahan. Tidak ada lagi keinginan saya untuk makan di tempat-tempat yang harganya ratusan ribu sekali makan, baju-baju merk terkenal seharga jutaan, dan sebagainya.

Saya menolaknya meski Kang Yayan bilang tidak apa sekali-sekali. Saat saya ulang tahun, Kang Yayan menawarkan untuk merayakan di mana saja. Tapi saya ingin memasak di rumah, membuat makanan, dengan tangan saya sendiri. Dan siangnya, dengan dibantu Bi Nia, lebih seratus bungkus nasi saya bikin. Diantar Kang Yayan dan kedua anak saya, nasi-nasi bungkus dibagikan kepada para pengemis, para pedagang asongan dan pengamen yang banyak di setiap stopan.

Di stopan terakhir yang kami kunjungi, saya mengajak Kang Yayan dan kedua anak saya untuk makan bersama. Diam-diam air mata mengalir dimata saya.

Yuni menghampiri saya dan bilang, "Mama, saya bangga jadi anak Mama." Dan saya ingin menjadi Mama bagi ribuan anak-anak lainnya.


Technorati Profile

Labels: ,


Read more!